ADAT NIMBANG BUNTING
Sriwijaya Radio, Palembang - Nimbang bunting merupakan salah satu adat asli Palembang. Nimbang bunting merupakan adat mendoakan usia kehamilan tujuh bulan. Kepala UPTD Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, sekaligus Ketua Dewan Pembina Adat Kota Palembang, Raden Muhammad Ali Hanafiah menuturkan bagaimana adat Nimbang Bunting dilaksanakan.
Dalam adat ini, ibu dengan usia kehamilan tujuh bulan, didudukkan di papan pasang, dengan menggunakan pakaian adat Nimbang Bunting, yakni kain (sewet) yang dililit seperti kemben menutupi tubuh. Kedua tangan si ibu diletakkan di atas timbangan untuk ditimbang, dan berat tangan itu yang menentukan berat sewet yang akan digunakan.
Lalu tubuh sang ibu (diluar busana adat yang dikenakan) dibaluri dengan bedak tiga warna, yakni warna putih, merah dan hijau. Ini melambangkan hidup yang akan dijalani calon jabang bayi, berwarna-warni.
Sebelumnya, dalam upacara adat tersebut, dibacakan Kitab Manakib Syech Muhammad Saman, seorang tokoh dari Mekkah yang menjadi panutan bagi masyarakat Kota Palembang.
Berdasarkan catatan sejarah, Syech Muhammad Saman adalah seorang anak yang sangat mencintai kedua orangtuanya. Perilakunya sangat berbakti kepada orangtua, bahkan rela untuk tidak makan demi agar kedua orangtuanya cukup makan.
Setelah itu, barulah sang ibu hamil dimandikan oleh ibu kandung dan ibu mertua, kerabat perempuan terdekat. Setiap kali disiram dan basah, maka si ibu hamil akan berganti sewet hingga 7 kali.
Setelah ritual siraman, ibu hamil akan disuapi dengan nasi kunyit panggang ayam.
Ali Hanafiah menuturkan, biasanya ada ibu-ibu yang memimpin adat Nimbang Bunting ini.
"Namun, saat ini sudah jarang terdengar ada yang mengaplikasikan upacara adat khas Palembang ini. Bahkan banyak masyarakat kita sendiri tidak mengetahui, jika mendoakan ibu hamil di usia kehamilan tujuh bulan, ada dalam adat Palembang dari zaman dahulu kala," ungkap Ali yang akrab disapa Mang Amin tersebut.
Reporter : Cek Rul
Editor : Cek Mar
Dalam adat ini, ibu dengan usia kehamilan tujuh bulan, didudukkan di papan pasang, dengan menggunakan pakaian adat Nimbang Bunting, yakni kain (sewet) yang dililit seperti kemben menutupi tubuh. Kedua tangan si ibu diletakkan di atas timbangan untuk ditimbang, dan berat tangan itu yang menentukan berat sewet yang akan digunakan.
Lalu tubuh sang ibu (diluar busana adat yang dikenakan) dibaluri dengan bedak tiga warna, yakni warna putih, merah dan hijau. Ini melambangkan hidup yang akan dijalani calon jabang bayi, berwarna-warni.
Sebelumnya, dalam upacara adat tersebut, dibacakan Kitab Manakib Syech Muhammad Saman, seorang tokoh dari Mekkah yang menjadi panutan bagi masyarakat Kota Palembang.
Berdasarkan catatan sejarah, Syech Muhammad Saman adalah seorang anak yang sangat mencintai kedua orangtuanya. Perilakunya sangat berbakti kepada orangtua, bahkan rela untuk tidak makan demi agar kedua orangtuanya cukup makan.
Setelah itu, barulah sang ibu hamil dimandikan oleh ibu kandung dan ibu mertua, kerabat perempuan terdekat. Setiap kali disiram dan basah, maka si ibu hamil akan berganti sewet hingga 7 kali.
Setelah ritual siraman, ibu hamil akan disuapi dengan nasi kunyit panggang ayam.
Ali Hanafiah menuturkan, biasanya ada ibu-ibu yang memimpin adat Nimbang Bunting ini.
"Namun, saat ini sudah jarang terdengar ada yang mengaplikasikan upacara adat khas Palembang ini. Bahkan banyak masyarakat kita sendiri tidak mengetahui, jika mendoakan ibu hamil di usia kehamilan tujuh bulan, ada dalam adat Palembang dari zaman dahulu kala," ungkap Ali yang akrab disapa Mang Amin tersebut.
Reporter : Cek Rul
Editor : Cek Mar
Foto Ilustrasi |