Nyamuk DBD Kini Lebih "Ganas"?
SRIWIJAYA
RADIO - Perubahan iklim dunia telah membuat beberapa makhluk hidup
mengalami adaptasi. Tak terkecuali nyamuk pembawa virus demam berdarah (DBD),
Aedes aegypty. Kini, nyamuk DBD cenderung lebih sering menggigit, berukuran
lebih kecil, dan memiliki siklus hidup lebih singkat.
“Nyamuk
ini sekarang berukuran lebih kecil. Siklus hidupnya juga lebih cepat,” kata
peneliti peneliti dari Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan
Masyarakat UI, Dr Budi Haryanto.
Perubahan
fisik, kata Budi, memungkinkan nyamuk terbang lebih cepat. Fisik yang lebih
kecil juga memungkinkan nyamuk lebih mudah berpindah sasaran. Hal ini juga
mengakibatkan proses metabolisme tubuh nyamuk lebih cepat, sehingga hewan ini
perlu asupan lebih banyak. Akibatnya, nyamuk menggigit asupan lebih sering
dibanding sebelumnya.
Budi
mengatakan, nyamuk Aedes saat ini menggigit setiap 3 hari sekali sedangkan
sebelumnya hanya setiap 5 hari sekali. Padahal, nyamuk Aedes memiliki lama
hidup yang sama yaitu 2-3 bulan. Akibatnya, nyamuk Aedes saat ini bisa
menggigit 30 kali selama hidupnya.
Jumlah
ini tentu lebih banyak dibanding pendahulunya, yang hanya menggigit 18 kali
selama hidup. Perubahan ini mengakibatkan nyamuk bisa lebih banyak menularkan
virus kepada orang lain. Perubahan ini diikuti siklus hidup pada nyamuk Aedes.
Lebih
lanjut, Budi menjelaskan, saat ini nyamuk Aedes lebih cepat dewasa sehingga
bisa sesegera mungkin menginfeksi tubuh manusia. Fase nyamuk dimulai dengan
telur yang bertahan 1-2 hari. Siklus dilanjutkan dengan fase larva selama 5-7
hari, kemudian pupa yang bertahan selama 1-2 hari. Fase nyamuk betina dewasa
dicapai dalam waktu kurang lebih 14 hari.
“Namun,
ada juga yang hanya butuh kurang lebih 7 hari. Akibatnya nyamuk jadi prematur,”
kata Budi.
Cepat
menjadi dewasa membuat nyamuk Aedes tumbuh prematur. Kendati begitu, perubahan
ini tidak berpengaruh pada kemampuan menggigit nyamuk. Hal ini juga dapat
dilihat dari kecenderungan kasus DBD yang terus meningkat.
Pada
2012 misalnya tercatat ada 90.245 kasus, dengan angka kejadian 37,1 per 100
ribu penduduk. Budi mengatakan, jumlah ini akan terus meningkat seiring
pertambahan penduduk dan tempat tinggal serta aktivitas.
“Trennya
tidak akan menurun, kasus ini akan terus naik setiap tahun. Yang perlu
diperhatikan adalah pencegahannya,” katanya.
Efek
perubahan cuaca juga memengaruhi habitat nyamuk. Budi mengatakan, saat ini
nyamuk Aedes sudah bisa ditemukan di dataran tinggi misalnya di kawasan Puncak,
Bogor. Hal ini dikarenakan naiknya rata-rata suhu. Akibatnya, jumlah air bersih
tergenang di dataran tinggi meningkat dan kondisi ini sesuai untuk tempat hidup
nyamuk.
Menurutnya,
meningkatnya curah hujan memperbanyak habitat larva. Hujan akan meningkatkan
jumlah air bersih yang tergenang. Semakin banyak jumlah larva, maka semakin
besar kemungkinan nyamuk berhasil mencapai fase dewasa. Hal ini mengindikasikan
semakin banyak nyamuk yang bisa menginfeksi manusia.
Tidak ada komentar
Posting Komentar