Prasasti Telaga Batu
Prasasti Telaga Batu
ditemukan di daerah Sabokingking, Kelurahan 3 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II,
Kota Palembans, Sumatera Selatan sekitar tahun 1950-an. Prasati ini sekarang di
simpan di Museum Nasional dengan No. D.155. Di sekitar prasasti ini pada
tahun-tahun sebelumnya ditemukan lebih dari 30 buah prasasti Siddhayatra.
Bersama-sama dengan Prasasti Telaga Batu, prasasti-prasasti tersebut kini
disimpan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti Telaga Batu dipahatkan pada sebuah batu andesit
yang sudah dibentuk sebagaimana layaknya sebuah prasasti dengan ukuran tinggi
118 Cm dan lebar 148 Cm. Di bagian atasnya terdapat hiasan tujuh ekor kepala
naga, dan di bagian bawah tengah terdapat semacam ceret (pancuran) tempat
mengalirkan air pembasuh. Ditulis dalam aksara Pallawa dengan menggunakan
bahasa Melayu Kuno. Tulisan yang dipahatkan pada prasasti cukup panjang, namun
secara garis besar isinya tentang kutukan terhadap siapa saja yang melakukan
kejahatan di kedatuan Sriwijaya dan tidak taat kepada perintah datu. Casparis
berpendapat bahwa orang-orang yang disebut pada prasasti ini merupakan
orang-orang yang berkategori berbahaya dan berpotensi untuk melawan kepada
kedatuan Sriwijaya sehingga perlu disumpah. Disebutkan orang-orang tersebut mulai dari putera raja
(rajaputra), menteri (kumaramatya), bupati (bhupati), panglima (senapati),
Pembesar/tokoh lokal terkemuka (nayaka), bangsawan (pratyaya), raja bawahan
(haji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketuapekerja/buruh (tuha an vatak =
vuruh), pengawas pekerjaan rendah (addhyaksa nijavarna), ahli senjata
(vasikarana), tentara (catabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan
toko (kayastha), pengrajin (sthapaka), kapten kapal (puhavam), peniaga
(vaniyaga), pelayan raja (marsi haji), dan budak raja (hulun haji). Prasasti ini salah satu prasasti kutukan yang palinng
lengkap memuat nama-nama pejabat pemerintahan. Beberapa sejarawan menganggap
dengan keberadaan prasasti ini, diduga pusat Sriwijaya itu berada di Palembang
dan pejabat-pejabat yang disumpah itu tentunya bertempat tinggal di ibukota
kerajaan. Soekmono berpendapat berdasarkan prasasti ini tidak mungkin Sriwijaya
berada di Palembang karena adanya keterangan ancaman kutukan kepada siapa yang
durhaka kepada kedatuan, dan mengajukan usulan Minanga seperti yang disebut
pada prasasti kedukan Bukit yang diasumsikan berada di sekitar Candi Muara
Takus sebagai ibukota Sriwijaya.
Lemabang.wordpress.com
Tidak ada komentar
Posting Komentar